Kota Batu di Jawa Timur adalah bunga. Sebagian tempat wisata di wilayah kota yang secara administratif ditetapkan sebagai satuan pemerintahan pada 6 Maret 1993 lalu itu cenderung mengidentikkan diri dengan bunga dan beragam jenisnya.
Namun, gambaran yang bisa mewakili soal keterkaitan Kota Batu pada bunga bisa dilihat di Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu. Lokasi itu berada pada ketinggian sekitar 980 meter di atas permukaan laut dengan jarak sekitar 20 kilometer (km) dari Kota Malang.
Untuk menuju desa yang sudah ditetapkan sebagai kawasan wisata bunga itu, saat memasuki Kota Batu kita berbelok ke kanan setelah kelenteng di sisi kanan jalan. Arahnya menuju Taman Rekreasi, Hotel, dan Restoran Selecta di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, yang juga kaya akan beragam jenis bunga eksotis.
Segera setelah memasuki Jalan Bukit Berbunga, kita bisa melihat deretan beragam bunga dan tanaman hias yang dijajakan. Tak puas dengan koleksi atau harga yang ditawarkan pada salah satu kios, kita tinggal beranjak ke kios lain dan begitu seterusnya.
90 persen petani
Kepala Desa Sidomulyo Jatmiko mengatakan, tidak kurang 90 persen dari 7.815 orang penduduk desa yang tersebar di tiga wilayah dusun memiliki mata pencarian sebagai petani penanam bunga sekaligus pedagang bunga.
Penduduk di tiga dusun tersebut, yakni Dusun Tinjumoyo, Tonggolari, dan Sukorembuk, rata-rata memiliki usaha penanaman, pembudidayaan, serta penjualan aneka jenis bunga potong, tanaman hias, dan bonsai. Selain itu, juga jasa dekorasi taman luar (outdoor) ataupun dalam ruang (indoor). ”Pokoknya petani di sini bisa mengerjakan semua soal bunga dan tanaman hias dari A sampai Z,” kata Hadi Sutrisno, salah seorang petani bunga di desa tersebut. Hadi mengatakan, sebagian besar petani bunga atau tanaman hias di kawasan itu juga sebagai pedagang. Sebagian besar penduduk desa biasanya menjalankan sebuah unit usaha penanaman bunga dalam satu keluarga. ”Biasanya bapak (suami) bertanam, ibu (istri) berdagang,” ujar Suyanto, petani bunga lainnya. Pengetahuan soal budidaya beragam jenis bunga itu dimulai secara turun-temurun dan terus dikembangkan dengan perpaduan dari perkembangan terkini. Menurut Hadi, para petani bunga di desa itu tidak kenal kata menyerah dalam membudidayakan beragam jenis bunga dan tanaman hias. Itu membuat aneka jenis bunga dan tanaman hias dari daerah lain bisa dengan sukses dibudidayakan di tempat itu. Dengan produksi yang makin meningkat, harga di pasaran juga relatif turun. Contohnya, mawar batik yang menurut Hadi berasal dari Bogor dan masuk ke Desa Sidomulyo pada 2005. ”Waktu itu harganya Rp 25.000 per pohon. Setelah berhasil dibudidayakan di Desa Sidomulyo, harganya menjadi Rp 2.500 per pohon pada 2006, hanya dalam waktu setahun,” kata Hadi. Contoh lain adalah buah pepino yang dibudidayakan secara komersial di desa itu sejak 2009 lalu.
Tanaman asli dari sejumlah negara, seperti Peru, Kolombia, dan Cile itu dipercaya berkhasiat mengobati sejumlah penyakit, seperti hipertensi dan wasir. ”Harga buah pepino di sini Rp 5.000 per kilogram,” kata Darmanto, salah seorang petani lainnya. Akibatnya, sejumlah daerah yang menjadi asal beragam bibit bunga dan tanaman hias kini justru menjadi daerah tujuan pemasaran. Darmanto mengatakan, salah satunya ialah jenis bunga teratai yang bibitnya diambil dari Pulau Bali. ”Sekarang teratai kuning saya ini, yang bibitnya dari Bali, justru dibeli orang dari Bali,” kata Darmanto di lahannya yang berlatar belakang Gunung Panderman. Bisnis bunga di kawasan itu telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu, sekalipun ia mengatakan masa keemasan bisnis itu mulai tahun 1990 hingga 1996. ”Saat itu masih banyak proyek pembangunan properti dan pembuatan taman-taman kota,” kata Suyanto. Sejak 1997 hingga 2004 bisnis itu sempat surut sebelum bangkit lagi pada 2007 lalu. Jatmiko mengatakan, desa itu dijadikan sebagai pusat budidaya bunga sejak masa pemerintah kolonial Belanda. ”Mulai dari zaman mbah-mbah kami dulu, tanah di sini cocok,” katanya. Berdasarkan keterangan dalam situs resmi Pemerintah Kota Batu di alamat http://www.batukota.go.id, wilayah Batu telah masyhur sebagai tempat tetirah bagi keluarga kerajaan sejak abad ke-10 dengan pemandangan yang elok dan cuaca yang sejuk seperti lazimnya wilayah pegunungan.
Kawasan wisata Songgoriti disebutkan sudah ditemukan seorang petinggi Kerajaan Mataram Kuno bernama Mpu Supo yang kemudian mendirikan Candi Supo pada masa pemerintahan Raja Mpu Sindok. Kini di desa itu terdapat 17 kelompok tani dengan jumlah anggota masing-masing kelompok sekitar 30-100 orang. Mereka tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sekar Indah. Dalam masing-masing kelompok tani itu lalu terjadi semacam transformasi pengetahuan soal cara membudidayakan beragam jenis bunga dan tanaman hias dengan beragam metode, seperti stek, cangkok, pengambilan biji, atau sambung stek. ”Kami juga sering menerima tamu dari luar untuk melihat kondisi desa ini dan belajar di sini,” kata Jatmiko. Jatmiko menambahkan, sejak ditetapkan sebagai salah satu desa wisata pada 2002 lalu, kawasan itu semakin ramai dikunjungi wisatawan. Ia mencatat, untuk kunjungan resmi seperti studi banding tidak kurang 300 orang dalam sehari menuju kawasan tersebut. Itu belum termasuk para pengunjung yang datang dan pergi ke berbagai kios yang tersebar di wilayah desa itu. Untuk memperluas pilihan bagi wisatawan, sejak 2010 pemerintah desa mulai menggerakkan pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna untuk mengelola paket wisata arung jeram, berkuda, dan sepeda gunung di kawasan itu.
Sejak 2005, bagi sebagian warga yang tidak memiliki lahan dan tempat berjualan disiapkan lahan dan Pasar Bunga Sekar Mulyo di kawasan Jalan Cemara Kipas. Di wilayah dengan luas sekitar dua hektar itu terdapat 100 keluarga penggarap lahan. Darmanto mengutarakan, meski tanah kas desa, petani yang menggarap dan menempati kios tetap dikenakan biaya Rp 250.000 per tahun untuk lahan seluas 200 meter persegi dan Rp 300.000 setahun untuk kios ukuran 3 meter x 3 meter. ”Untuk berbagi pengetahuan, satu bulan sekali anggota-anggota kelompok tani bertemu dan bertukar pengetahuan, juga untuk saling mengarahkan soal pemasaran terhadap hasil panen jenis bunga tertentu,” kata Darmanto. Tidak ada rahasia di antara mereka soal pengetahuan budidaya jenis bunga atau tanaman hias tertentu, melainkan saling dibicarakan dan dibagi untuk kepentingan bersama. Semuanya agar identifikasi Batu sebagai kota wisata makin lengkap dengan bunga.
Penduduk di tiga dusun tersebut, yakni Dusun Tinjumoyo, Tonggolari, dan Sukorembuk, rata-rata memiliki usaha penanaman, pembudidayaan, serta penjualan aneka jenis bunga potong, tanaman hias, dan bonsai. Selain itu, juga jasa dekorasi taman luar (outdoor) ataupun dalam ruang (indoor). ”Pokoknya petani di sini bisa mengerjakan semua soal bunga dan tanaman hias dari A sampai Z,” kata Hadi Sutrisno, salah seorang petani bunga di desa tersebut. Hadi mengatakan, sebagian besar petani bunga atau tanaman hias di kawasan itu juga sebagai pedagang. Sebagian besar penduduk desa biasanya menjalankan sebuah unit usaha penanaman bunga dalam satu keluarga. ”Biasanya bapak (suami) bertanam, ibu (istri) berdagang,” ujar Suyanto, petani bunga lainnya. Pengetahuan soal budidaya beragam jenis bunga itu dimulai secara turun-temurun dan terus dikembangkan dengan perpaduan dari perkembangan terkini. Menurut Hadi, para petani bunga di desa itu tidak kenal kata menyerah dalam membudidayakan beragam jenis bunga dan tanaman hias. Itu membuat aneka jenis bunga dan tanaman hias dari daerah lain bisa dengan sukses dibudidayakan di tempat itu. Dengan produksi yang makin meningkat, harga di pasaran juga relatif turun. Contohnya, mawar batik yang menurut Hadi berasal dari Bogor dan masuk ke Desa Sidomulyo pada 2005. ”Waktu itu harganya Rp 25.000 per pohon. Setelah berhasil dibudidayakan di Desa Sidomulyo, harganya menjadi Rp 2.500 per pohon pada 2006, hanya dalam waktu setahun,” kata Hadi. Contoh lain adalah buah pepino yang dibudidayakan secara komersial di desa itu sejak 2009 lalu.
Tanaman asli dari sejumlah negara, seperti Peru, Kolombia, dan Cile itu dipercaya berkhasiat mengobati sejumlah penyakit, seperti hipertensi dan wasir. ”Harga buah pepino di sini Rp 5.000 per kilogram,” kata Darmanto, salah seorang petani lainnya. Akibatnya, sejumlah daerah yang menjadi asal beragam bibit bunga dan tanaman hias kini justru menjadi daerah tujuan pemasaran. Darmanto mengatakan, salah satunya ialah jenis bunga teratai yang bibitnya diambil dari Pulau Bali. ”Sekarang teratai kuning saya ini, yang bibitnya dari Bali, justru dibeli orang dari Bali,” kata Darmanto di lahannya yang berlatar belakang Gunung Panderman. Bisnis bunga di kawasan itu telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu, sekalipun ia mengatakan masa keemasan bisnis itu mulai tahun 1990 hingga 1996. ”Saat itu masih banyak proyek pembangunan properti dan pembuatan taman-taman kota,” kata Suyanto. Sejak 1997 hingga 2004 bisnis itu sempat surut sebelum bangkit lagi pada 2007 lalu. Jatmiko mengatakan, desa itu dijadikan sebagai pusat budidaya bunga sejak masa pemerintah kolonial Belanda. ”Mulai dari zaman mbah-mbah kami dulu, tanah di sini cocok,” katanya. Berdasarkan keterangan dalam situs resmi Pemerintah Kota Batu di alamat http://www.batukota.go.id, wilayah Batu telah masyhur sebagai tempat tetirah bagi keluarga kerajaan sejak abad ke-10 dengan pemandangan yang elok dan cuaca yang sejuk seperti lazimnya wilayah pegunungan.
Kawasan wisata Songgoriti disebutkan sudah ditemukan seorang petinggi Kerajaan Mataram Kuno bernama Mpu Supo yang kemudian mendirikan Candi Supo pada masa pemerintahan Raja Mpu Sindok. Kini di desa itu terdapat 17 kelompok tani dengan jumlah anggota masing-masing kelompok sekitar 30-100 orang. Mereka tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sekar Indah. Dalam masing-masing kelompok tani itu lalu terjadi semacam transformasi pengetahuan soal cara membudidayakan beragam jenis bunga dan tanaman hias dengan beragam metode, seperti stek, cangkok, pengambilan biji, atau sambung stek. ”Kami juga sering menerima tamu dari luar untuk melihat kondisi desa ini dan belajar di sini,” kata Jatmiko. Jatmiko menambahkan, sejak ditetapkan sebagai salah satu desa wisata pada 2002 lalu, kawasan itu semakin ramai dikunjungi wisatawan. Ia mencatat, untuk kunjungan resmi seperti studi banding tidak kurang 300 orang dalam sehari menuju kawasan tersebut. Itu belum termasuk para pengunjung yang datang dan pergi ke berbagai kios yang tersebar di wilayah desa itu. Untuk memperluas pilihan bagi wisatawan, sejak 2010 pemerintah desa mulai menggerakkan pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna untuk mengelola paket wisata arung jeram, berkuda, dan sepeda gunung di kawasan itu.
Sejak 2005, bagi sebagian warga yang tidak memiliki lahan dan tempat berjualan disiapkan lahan dan Pasar Bunga Sekar Mulyo di kawasan Jalan Cemara Kipas. Di wilayah dengan luas sekitar dua hektar itu terdapat 100 keluarga penggarap lahan. Darmanto mengutarakan, meski tanah kas desa, petani yang menggarap dan menempati kios tetap dikenakan biaya Rp 250.000 per tahun untuk lahan seluas 200 meter persegi dan Rp 300.000 setahun untuk kios ukuran 3 meter x 3 meter. ”Untuk berbagi pengetahuan, satu bulan sekali anggota-anggota kelompok tani bertemu dan bertukar pengetahuan, juga untuk saling mengarahkan soal pemasaran terhadap hasil panen jenis bunga tertentu,” kata Darmanto. Tidak ada rahasia di antara mereka soal pengetahuan budidaya jenis bunga atau tanaman hias tertentu, melainkan saling dibicarakan dan dibagi untuk kepentingan bersama. Semuanya agar identifikasi Batu sebagai kota wisata makin lengkap dengan bunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar